top of page
  • Writer's pictureDiella Yasmine

Tanggal 12 Bulan Tiga



Malam itu tak seperti biasanya. Aku terduduk diam di depan ponselku yang layarnya terus redup. “Kamu menunggu siapa?” Ucapku pada diriku sendiri. “Memang kamu masih punya harapan? Bukannya semuanya sudah jelas?”, lanjutku.

 

Setelah berjam-jam menunggu balasan dari seseorang yang aku tak bisa sebutkan namanya, layar ponselku menyala dan sebuah pesan muncul. “Bisa tunggu sebentar? Aku mau bicara, tapi gak sekarang. Jam set-12 ya.” Aku segera membalas, “Ya. Aku tunggu.”

 

Pesan terakhir yang kubalas tepat di jam 22.30 dan dalam kurun waktu satu jam, aku memutar kembali banyak kejadian selama tiga tahun aku mengenalnya. Dalam perenungan tersebut aku menyadari bahwa tidak pernah ada waktu dimana Ia mencariku jika dia tidak butuh. Semua pertemuan dan percakapan yang terjadi cuma kosong artinya.

 

Aku tidak bisa menghitung berapa banyak aku mengangkat telponnya hanya untuk mendengar suaranya. Aku juga tidak bisa menghitung berapa banyak kebohongan yang aku terima mentah-mentah. Sejujurnya, aku juga tidak senaif itu, tetapi perasaan ini lebih besar dayanya dari akal sehatku.

 

Lamunanku buyar ketika namanya muncul di layar ponselku. “Halo,” ada jeda setelah ia mengucapkannya. “Hi. Kamu mau bicara apa?”, tanpa basa-basi aku langsung menanyakannya. “Sebenarnya aku mau bicara jujur. Selama tiga tahun kita mengenal satu sama lain, aku sudah berusaha untuk…”, ia berbicara panjang lebar, tapi aku sudah terlalu lelah untuk memperdulikannya.  “Halo…Diel…”, aku masih tak menjawabnya. Lalu ia lanjutkan ucapannya, “Jadi, aku kira kita harus selesai di sini saja.”

 

Dengan tenang dan tanpa ragu-ragu, aku menjawab, “Oh. Yasudah kalau gitu.” Setelah itu, ia masih terus bicara, tapi yang ada dipikiranku hanyalah menutup telpon ini dan berharap tidak pernah mengenalnya.

10 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page