Lepas jam 6 pagi, aku sudah bersiap untuk pergi ke dapur. Buka karena ingin sarapan, tetapi mataku tak bisa terpejam lagi. Setelah mandi dan berganti pakaian, aku langsung turun ke lantai satu dan pintu kulkas adalah hal pertama yang kutuju. Belum sempat mengeluarkan bawang, cabai, dan tahu, suara langkah kaki terdengar menuruni tangga dan Ibuku menyapa di balik pintu. “Hi. Morning. Let’s get cooking. What are you craving for lately?” Sambil tersenyum aku menjawab “A good, crispy, tahu isi!”. “Well, tahu isi it is!”, ucap Ibuku excited.
Semenjak memutuskan untuk tidak memiliki asisten rumah tangga, bonding time antara aku dan ibuku seringkali terjadi di dapur. Bagi kami berdua, memotong sayuran atau menggoreng makanan kurang seru jika tidak sambil mengobrol dan bertukar pikiran. Jadi, jika aku sedang tidak sibuk bekerja dan ibuku sedang tidak mengurus tanaman, hal sederhana namun spesial ini lah yang menjadi aktivitas favorit kami berdua.
Setelah selesai membersihkan tauge dan memotong cabai, tiba-tiba ibuku berkata:
“When I am old and weak, I want you to take care of me. Promise me that.”
Aku menoleh ke arahnya dan bertanya, “Why did you say that? You are perfectly healthy and please don’t think the worst.”
“I know, but since your dad gets sick, I worry too much about everything. If I could choose, I want to die with him too”, she replied.
Aku terdiam beberapa saat dan duduk di depannya. “Mom. You are my mother. I will take care of you even if you didn’t ask. And we can’t escape death. Until that moment comes, you will always have my back.”
“We have each other. Always have, always will. So, never said that again,” aku menekankan ucapanku lagi.
Ibuku tak mengatakan apapun setelah itu. Kami berdua hanya duduk berhadapan dan
menghabiskan sepiring gorengan tahu isi.
Setelahnya, kami berdua kembali ke kamar masing-masing dan aku menangis sesengukan sambil duduk di kursi.